Kontemplasi Mahasiswa
Tulisan kali ini saya akan berbagi tentang Kontemplasi Mahasiswa. Dimana Kontemplasi ini bisa di artikan sebagai pandangan pikiran atau perhatian penuh terhadap suatu hal. Begitulah kurang lebih yang saya pahami. Jika kurang pas mohon dimaafkan ya sobat..
Kontemplasi Mahasiswa
Dari dalam sebuah kamar kos tipe L dengan ukuran 3x2 meter, aku mulai membaringkan tubuhku, sambil membuka dan mengintip dari balik jendela, aku memulai perenunganku, bahasa gaulnya, sih, "overthinking".
Hampir di setiap malam, hampir di saat-saat sepi dan sendiri. Entah mengapa, hal itu membuatku melahirkan banyak sekali pertanyaan dan gagasan-gagasan yang seringkali aku lupa mencatatnya sehingga mudah hilang begitu saja.
Bahkan sampai terbawa mimpi pun, bangun menghapuskannya. Entah apa yang ada dalam pikiranku.
"Liburan kali ini terasa seperti bukan liburan. Ya, libur dari tugas-tugas kuliah memang benar, tapi tidak dengan libur organisasi," celetukku sesaat dengan nada yang sedikit kesal.
Percakapan ibu-ibu yang berbelanja dekat dengan kos tadi pagi, kembali menggelitik pikiranku.
Biasanya memang ibu-ibu lebih sering membicarakan perihal anak-anaknya saat berkumpul dengan teman-temannya, entah itu di pasar, di warung, toko bahkan di depan rumah.
Kabar bahwa anaknya yang baru tamat SMA akan segera menikah dengan lelaki mapan di seberang desa, ada juga yang dengan bangga memamerkan anaknya yang baru saja diterima di universitas ternama di Jakarta.
Tidak boleh ketinggalan lagi anak gadis Yu Diah yang katanya sudah bekerja sukses selama lima tahun tetapi belum menikah juga. "Yu Diah, anak wedokmu itu, loh. Sudah waktunya menikah kok ndak cepat-cepat dicarikan jodoh?" tanya pedagang sayur.
"Ya, memangnya, aku ini biro jodoh, tho, Yu?" "Haahaha, bukan begitu maksud saya, Yu. Nduk Asya itu, 'kan, putrimu, kasihan anak cucumu nanti kalau Nduk Asya nikahnya telat," jawab salah seorang ibu yang hendak menikahkan anaknya tadi.
"Halah, Bu, kalau sudah jodoh untuk menikah pasti ada waktunya sendiri, anak saya masih kepengen nyari pengalaman," jawab Yu Diah dengan begitu santainya.
Beralih lagi ingatanku pada sesosok anak kecil yang menjajakan camilan lumpia di sekitar kampus dengan harga 10 ribu dapat tiga bungkus.
Lumpia kering yang menurutku lumayan keras teksturnya, juga tidak enak-enak amat, dan isinya sedikit, harga segitu cukup dibilang mahal.
Untung saja yang jualan anak-anak, mungkin jika orang tua yang menjualnya akan malu dengan pemasaran seperti itu. Dengar-dengar, sih, cerita dari temanku, pernah anak kecil itu ditanya, "Dik, rumahmu mana? Sama siapa ke sini?" "Jauh, Kak.
Di sini sama ibu, ibu menungguku di sebelah sana— sambil menunjuk ke sebuah tempat—dari pagi sampai sore, kalau daganganku tidak habis, ibu pasti akan memarahiku," terangnya polos.
Bergeser pada momen saat aku dan sahabat-sahabatiku berkumpul di sebuah angkringan kopi untuk membahas persiapan kepengurusan periode berikutnya.
Sebuah tempat yang hampir di setiap malam ramai kami kunjungi, entah untuk membahas hal-hal serius maupun tidak serius, sampai pada hal-hal random tanpa topik sekali pun, itu menyenangkan.
Tidak dengan lepasnya tanggung jawab kami yang terus berkontemplasi memikirkan bagaimana kesiapan kepengurusan.
Topik pembicaraan kami semakin ngelantur masuk ke dalam ruangan besar bernama kampus. Sebut saja seperti miniatur negara, kampus adalah sebuah pemerintahan.
Banyak sekali hal-hal mulai dari yang disebut problematika maupun hal-hal lain yang mesti ditopang dan diperbaiki bahkan dimintai pertanggungjawaban.
Kami membicarakan soal pemotongan UKT yang tak kunjung ada kejelasan dari pihak atasan, ditambah lagi momen bagi orang-orang yang dikatakan mampu secara finansial mencoba merenggut kesempatan atau hak-hak orang-orang yang katakanlah minim dalam hal finansial. Gaya hidup tak sebanding dengan pendapatan atau justru sebaliknya.
Baca juga :
Posting Komentar untuk "Kontemplasi Mahasiswa"
Jika ada pertanyaan silahkan tanyakan di kolom komentar